Banyak Sarjana yang Lahir Dari Petani, Tapi Tidak Banyak Sarjana yang Mau Jadi Petani
Kisah Inspirasi - Selamat hari Tani Nasional 24 September. Ya, hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September pada setiap tahunnya. Hari dimana kita sebagai anak petani bisa merayakan sembari bermuhasabah. Sebab kita adalah bangsa yang dibangun dari moyang yang bertani. Bangsa ini pun hidupnya ditopang oleh petani. Namun petani tidak dihargai dengan baik.
Dulu petani kita pernah tanam paksa di zaman penjajahan, lalu menjadi petani merdeka. Bisa menanam dan memanen di tanah sendiri. Petani adalah singkatan dari Penjaga Tatanan Negara Indonesia. Sesuai dengan kepangjangan itu, tanpa petani kita akan menjadi negara yang tidak berdaulat. Dari mana kita memenuhi kebutuhan pangan ? Walau kita pun tau bahwa kita memang belum sepenuhnya berdaulat dalam penyediaan bahan pangan pokok. Kita masih impor.
Beras, bawang dan bahan pokok lainya datang dari impor. Vietnam dan Tahiland menjadi negara pengimpor bahan baku makanan. Padahal tanah kita adalah tanah subur, dan negara kita lebih luas "tongkat pun jika dilempar akan jadi tanaman". Saking subur nya tanah yang ada dibawah garus khatulistiwa ini. Namun kenapa kita masih belum lepas impor bahan bahan ???
Petani bukan hanya melahirkan banyak bahan pangan, namun petani telah banyak melahirkan sarjana, pejabat, guru dan bahkan miliyarder. Petani sudah mampu menyekolahkan anak-anaknya untuk tidak menjadi petani lagi. Ya, begitulah kenyatannya. Banyak anak petani yang kini sukses, sebit saja Chairul Tanjung si anak singkong. Dulunya ia adalah anak petani.
Mindset bahwa petani adalah profesi rendahan memang sangat melekat. "Bapak sekolahkan dan kuliahkan kamu supaya kamu engga jadi petani" nasehat seorang petani pada anaknya yang mewanti-wanti agar tidak menjadi petani. Memangnya apa salah petani ? Apa hinanya menjadi petani ? Ya kan. Namun sebuah seragam terkadang menjadi impian banyak orang tua, sehingga anaknya haruslah memakai seragam.
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa bertani adalah pekerjaan yang kasar dan melelahkan, padahal bekerja di kantoran pun sama lelahnya, Hanya saja di kantor itu bersih. Banyak orang tua yang gengsu jika anaknya menjadi petani, bahkan tak sedikit orang tua yang malu jika anaknya seorang sarjana pertanian menjadi petani.
Prinsip jangan menjadi petani itu masuk ke otak para sarjana. Mereka pun malu dan enggan menjadi petani. Lebih memilih memakai seragam, walau gaji kecil yang penting tersohor. Biar tekor asal tersohor.
Menjadi Petani Butuh Kerja Kasar ?
Ya, sebelum menanam tanaman, tanah harus dicangkul. Otomatis petani harus kerja sangat keras dan kotor. Setelah tanaman di tumbuh, petani harus menggarapnya sampai panen. Menjaga dibawah terik matahari dan mengurusinya sampai panen. Intinya memang butuh kerja keras yang ekstra untuk menjadi petani.
Kita sangat terbatas dalam teknologi, sehingga semua masih manual. Masih sedikit petani yang memanfaatkan teknologi. Pemerintah pun begitu ego, mereka tak masuk hingga masalah akar petani. Msalah utama yakni metode pertanian yang masih sangat manual. Di luar negeri kita bisa melihat banyak petani yang lebih efisien. Mereka menggunakan alat. Alat itu dari inovasi. Negeri ini cukup seikit berinovasi dalam bidang pertanian, namun berharap petaninya maju. Seperti omong kosong.
Bibit, lahan, pupuk dan peralatan harus dimodernisasi. Thailand bisa membuat bibit aneka ragam tanaman yang lebih produktif. Begitu juga Vietnam. 2 negara yang masih dekat dengan Indonesia ini lebih didepan dibanding Indonesia. Itu Fakta. Teknologi kita masih tertinggal sehingga petani masih manual. Sehingga petani masih menggunakan tangannya untuk melakukan hal hal berat.
Menjadi Petani Itu Miskin
Soal harga, petani memang selalu kalah. Distribusi barang amatlah panjang sehingga harga dasar dari petani sangatlah murah. Padahal butuh modal cukup banyak untuk menanam hingga panen. Berikut ini beberapa jalur yang harus ditempuh;
- Petani
- Kios Petani
- Pengepul
- Pengepul Skala Pasar
- Penjual
- Konsumen / pembeli
Seharusnya ada kebijakan pemerintah dalam hal ini. Memotong jalur distribusi barang adalah tugas pemerintah, toh mereka sudah digaji untuk itu.
Sebagai gambaran, di Lampung Barat harga cabai di petani hanya 10.000 rupiah, namun di Bandar Lampung harganya 50.000. Perpindahan tangan membuat olahan harga itu semakin tinggi. Satu tangan bisa mengambil untung 10.000 rupiah, padahal harga dari petani sangatlah murah. Kasus seperti ini juga bisa dilihat dari hasil petani Bogor yang dijual di Jakarta.
Permasalahan utama soal harga adalah jalur distribusi, namun pemerintah masih belum bisa menangani. Mungkin gaji mereka kurang, atau mereka makan gaji buta. Entahlah. Hups. Bercanda.
Permasalahan utama mengapa orang tidak mau menjadi petani adalah soal kesejahteraan. Dengan kerja sebegitu kerasnya karena serba manual dan harga panen yang murah, tentu menjadi perani itu berat. Kapan mereka sejahtera jika belum ada solusi yang tepat untuk mereka.
Petani di Indonesia belum memiliki jaminan, karena pemerintah Indonesia sendiri belum memberikan subsidi yang optimal bagi perbaikan nasib dan kehidupan petani.Berbeda halnya di luar negeri selain jaminan petani yang mengalami gagal panen, petani di Amerika juga mendapat bantuan pengetahuan dan teknologi dari berbagai pihak, terutama universitas. Mereka bisa dengan mudah mendapat informasi bibit unggul terbaru, kondisi cuaca harian, bahkan harga berbagai jenis panenan.
Petani adalah penopang tatanan kehidupan bangsa, makanan yang kita konsumsi sehari-hari adalah produk dari petani. Sudah selayaknya petani dihargai, jaminan dan juga fasilitas untuk mereka harus dipenuhi untuk menunjang kedaulatan negara. Jangan sampai para petani "Mengundurkan Diri" karena mereka tidak dihargai. Banyaknya sarjana yang tidak mau menjadi petani adalah gambaran masa depan. "Apakah di masa depan masih ada petani ?".
Mari renungkan. Salam.
Posting Komentar untuk " Banyak Sarjana yang Lahir Dari Petani, Tapi Tidak Banyak Sarjana yang Mau Jadi Petani"